Minggu, 13 April 2014

Bencana Alam di Indonesia

MEMASUKI TAHUN 2014, SELURUH INDONESIA BENCANA
Mulainya memasuki tahun 2014 ini, bencana alam berupa banjir melanda sejumlah daerah Indonesia, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di luar pulau Jawa. Jika ditelusuri tentu banyak sekali penyebab banjir yang sebenarnya timbul dari ulah manusia sendiri. Penebangan hutan secara liar (illegal logging), pendirian bangunan-bangunan di tempat resapan air dan membuang sampah tidak pada tempatnya
            merupakan di antara yang menyebabkannya. Di saat alam bereaksi atas semua perlakuan itu, siapa yang mampu menolaknya? Mau tidak mau kita yang harus berusaha menjaga kelestarian, turut menjadi korbannya dan dirugikan atas hal itu. Kemudian pemerintah menjadi pihak yang juga disalahkan karena dianggap tidak bisa mengurus daerahnya dengan baik. Meski telah banyak kepala daerah yang mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak yang kadang sarat kepentingan, masih ada juga yang justru terlihat bersih dari cacian. Sebut saja pemerintahan daerah.
Banjir dalam keadaan seperti ini, bukanlah tindakan yang bisa dikatakan benar jika kita mencari pihak yang patut disalahkan. Ketika bencana Alam sudah terjadi dan banyak rakyat menjadi korban, mencari “kambing hitam” dengan saling menghujat dan menyalahkan, bukanlah solusi yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Ironisnya lagi, justru kebanyakan orang menyalahkan pihak ini dan itu, mencaci tindakan ini dan itu dan juga menjadikan keadaan yang melanda masyarakat untuk memojokkan pihak lain yang tengah berkuasa. Sehingga apa yang dilakukan oleh mereka seakan menjadi tidak pernah benar dan selalu salah. Di tengah keadaan masyarakat yang tengah carut marut karena bencana yang melandanya jelas bukan itu yang dibutuhkan. Meski banjir yang terjadi pada kali ini di berbagai wilayah Indonesia cukup besar dengan disebutnya sebagai bencana Alam Nasional dan rakyat begitu menderita dengan adanya semua ini, ada nilai yang perlu kita ambil sebagai hikmah dan pelajaran. Tanpa diminta masyarakat dari kalangan ekonomi atas, menengah dan bawah yang terdampak banjir berkumpul menjadi satu dalam tempat pengungsian. Mereka yang awalnya tak kenal atau bahkan mungkin begitu acuh pada orang lain, mau tak mau harus mau menjadi satu dan mengenal orang-orang lain.
Jiwa yang penuh keangkuhan pun sadar dengan sendirinya karena penderitaan yang dialaminya yang sama dengan orang-orang lainnya. Rasa senasib menyatukan mereka dalam sebuah hubungan keakraban dan kebersamaan yang saling membantu satu dengan lainnya. Meski sebenarnya sikap ini tidak semestinya baru muncul ketika telah mengalami penderitaan, sikap solidaritas yang kini tengah terjadi dalam masyarakat korban bencana alam. Secara solidaritas bermakna kesetiakawanan atau kekompakan, dalam bahasa Arab disebut tadhamun, yaitu ketetapan dalam hubungan atau takaful (saling menyempurnakan/melindungi). Selanjutnya solidaritas diambil dari kata solider yang berarti mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu. Maka solidaritas dalam masyarakat jelasnya adalah kebersamaan yang terjadi dalam masyarakat dimana di dalamnya terkandung nilai kesetiakawanan dan kekompakan. Dengan demikian, kita bisa menarik kesimpulan bahwa solidaritas merupakan sikap kemanusiaan yang mengandung nilai mulia/tinggi. Tidak hanya antar korban terdampak bencana Alam, sikap yang menunjukkan solidaritas juga muncul dari masyarakat lain yang tidak terkena bencana Alam. Mereka yang merasa memiliki kerabat dekat atau yang bahkan tak memiliki kerabat sama sekali di lokasi bencana Alam mulai berdatangan memberikan bantuan. Tidak hanya harta benda, tenaga pun juga diberikan demi keselamatan masyarakat.
Di tengah masih banyak, permasalahan yang menghambat datangnya bantuan dari pemerintah, uluran tangan sesama adalah suatu hal yang mampu membantu para korban tidak hanya secara fisik tapi juga moral dan pritual. Kepedulian yang ditunjukkan secara langsung kepada para korban mau tidak mau akan membuat penderitaan yang dialami berkurang meskipun mungkin tidak banya. Bencana Alam pun akhirnya menjadi sarana untuk saling menolong dan memperkuat ukhuwah antar masyarakat, di samping pemerintah yang memikirkan solusi terbaik bagi masyarakatnya yang menderita akibat bencana Alam. Sayangnya tidak semua bantuan yang diberikan benar-benar datang atas kesadaran dan kepedulian pada sesama. Di tahun politik 2014 ini yang mana pemilihan umum akan segera tiba, bencana justru menjadi sarana bagi mereka memanfaatkan peluang sebaik-baiknya untuk kampanye. Bukankah sangat ironis, ketika orang lain tengah tak menentu kehidupannya di tengah bencana justru mereka memanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan politiknya.
Spanduk-spanduk yang didirikan dengan gambar partai atau gambar calon untuk di atas namakan bantuan partai jelas mempunyai tujuan lain selain membantu korban. Jika mereka dari kelompok partai tertentu memang peduli, tidak semestinya bantuan tersebut diikuti dengan kepentingan kekuasaan politik partai. Harusnya mereka sadar bahwa yang terjadi di masyarakat itu tidaklah tepat untuk sarana kampanye. Karena tindakan tersebut, tak hanya ada masyarakat yang menolak didirikannya posko bantuan dengan simbol partai politik yang menyertai. Tindakan masyarakat tersebut dapat dinilai benar dan menunjukkan sikap tegas dalam menghadapi mereka yang berkepentingan. Dengan kejadian di atas kita berharap orang-orang di partai politik sadar bahwa yang dibutuhkan rakyat adalah kepedulian dan solidaritas yang sebenarnya. Bukan kepedulian yang syarat akan kepentingan partai politik? yakni perolehan suara dalam pemilu dan solidaritas yang dijadikan kedok. Selanjutnya kita berharap pemimpin dan wakil rakyat nantinya adalah yang bisa memperhatikan nasib rakyatnya, sehingga nilai-nilai kemanusiaan benar-benar bisa ditegakkan di tengah masyarakat banyak.
Banda Aceh, 26 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar